Potret seorang warga tengah menaiki perahu di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Photograph oleh: Kate Evans/CIFOR-ICRAF

Article in Menyajikan Temuan Awal Penelitian Kami Tentang Kerangka Perlindungan REDD+ by Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Hasilnya sudah divalidasi bersama pemangku kepentingan utama REDD+ by Kalimantan Timur pada June 2022.

Criticism awal terhadap potensi Damak REDD+ (Mekanisme UNFCC untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan) terhadap masyarakat adat (IP) dan comunitas native (LC) mengarah pada pengembangan rangkaian ‘perlindungan social’. Hal ini telah dirancang dan dikonseptualisasikan dalam berbagai cara, dan rentang fungsi sebagai pagar atas Damak yang berpotensi membahayakan (‘tidak boleh membahayakan’) dari mekanisme katalisasi peningkatan kesejahteraan dan penghidupan IP dan LC dan wilayah mereka (‘lebih baik’).

Dalam kerangka Studi Comparative World REDD+ (GCS REDD+) Pusat Penelitian Kehutanan Internasional and World Agroforestry (CIFOR ICRAF), kami meneliti desain dan implementasi perlindungan REDD+ di Indonesia, Peru, dan Republic of Democratic Congo (RDK). Di tingkat nasional, kami meninjau dokumen hukum and mewawancarai specialis untuk memahami standing pengakuan and perlindungan hak kelompok adat dan masyarakat native dalam konteks REDD+.

Di tingkat sub-nasional, kami menggabungkan keterlibatan mendalam kami dengan REDD+ di Indonesia melalui tinjauan literature menyeluruh serta wawancara dengan para pelaku yang berpegalaman dengan perlindungan – termasuk LSM, pemerintah, dan peneliti berbasis universitas – serta perwakilan kelompok terdampak. Studi in mencakup Sistem Informasi Perlindungan (SIS) nasional dan Inisiatif Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) Financial institution Dunia di Kalimantan Timur.

Tujuan kami adalah untuk memahami bagaimana kerangka perlindungan (merujuk pada kerangka perlindungan Cancun tentang hak IP and LC serta partisipasinya dalam REDD+) diterapkan, memeriksa hambatan implementasi, and memberikan pelajaran untuk mengatasi hambatan tersebut.

Perlindungan of Kalimantan Timur

Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi paling berpengalaman dalam hal pengamanan REDD+ in Indonesia. Indonesia memulai ‘proses interpretasi’ resmi atas Perlindungan Cancun incorporates a Mengembangkan SIS Pada 2011. SIS REDD+ is a penting for Mendokumentasikan implements perlindungan FCPF. Telah dilakukan juga koordinasi yang erat antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dalam SIS REDD+, khususnya pada side teknis terkait pelaporan perlindungan. Namun, standar perlindungan FCPF mensyaratkan kepatuhan yang ketat atas sejumlah asspek terkait hak IP dan LC, dan ini perlu melampaui apa yang disyaratkan SIS REDD+, karena merupakan hasil dari artikulasi kerangka Perlindungan Cancun. Setahun kemudian, kerangka perlindungan nasional pertama tersusun, PRISAI (Prinsip, standards, indicator Safeguard REDD+ Indonesia); baik SIS maupun PRISAI awalnya diserbarluaskan dan diujicobakan di Kalimantan Timur. Secara parallel, Kalimantan Timur mengembangkan standar social and lingkungannya sendiri untuk REDD+ pada 2012, thegan kriteria dan indicator yang sesuai dengan konteks provinsi.

Baru-baru ini, Actions of Kalimantan Timur of bawah FCPF dipaksa untuk sejalan dengan pedoman pengamanan Financial institution Dunia agar memenuhi syarat untuk menerima pembayaran berbasis hasil. Kalimantan Timur berkomitmen untuk mengurangi emisi setara CO2 sebesar 22 metric ton pada 2024, untuk pembayaran berbasis hasil sebesar 110 juta dolar AS – sebesar 20.9 juta dolar AS telah diterima oleh Pemerintah Indonesia.

LSM native, berkoordinasi dergan Unit Manajemen Proyek (PMU), memainkan peran penting dalam mendukung pelaksanaan pengamanan di provinsi tersebut, dan meningkatkan kepatuhan Kalimantan Timur terhadap persyaratan pengamanan Financial institution Dunia.

Penelitian kami, misalnya, menemukan bahwa lokakarya persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA) dilakukan di 99 dari 150 desa sasaran pada awal 2022. Kami juga menemukan bahwa sistem mekanisme ganti rugi dan performa penurunan emisi terintegrasi telah ditetapkan. Laporan dari portal keluhan dan manfaat kinerja yang ada dari lembaga pemerintah berbasis lahan juga akan dipantau.

Mekanisme pembagian manfaat juga telah dikembangkan: hal yang penting adalah memastikan bahwa masyarakat yang diakui maupun yang tidak diakui dapat mengakses manfaat REDD+. Kalimantan Timur memiliki dasar hukum untuk pengakuan masyarakat adat. Melalui Perda 1/2015, hak hukum masyarakat adat diakui dan dilindungi, selanjutnya menjadi preseden hukum masyarakat adat untuk mendapatkan hak hukum hutan adat. Terdapat pula berbagai skema yang dirumuskan dalam kebijakan perhutanan social untuk memberikan hak hukum masyarakat adat dan lokal atas hutan. Tidak seperti hutan adat yang memberikan hak kepemilikan kepada penerima, skema lain berbasis kontrak selama 35 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan. Hal ini merupakan perkembangan constructive, karena masyarakat adat yang belum diakui – yang belum mendapatkan pengakuan hukum atas identitas adat dan wilayah hutannya – cenderung dikecualikan dari inisiatif ini. Di bawah mekanisme tersebut, badan perantara, yang dipiih oleh Badan Lingkungan Hidup Indonesia (BPHLH) Kementerian Keuangan, mendistribusikan manfaat dan/atau insentif dari FCPF kepada pemerintah desa dan kelompok masyarakat, termasuk kelompok adat yang diakui. Pathur Rachman As’advert, Ketua PMU menyebutkan bahwa “kelompok masyarakat adat yang belum diakui secara hukum juga akan menerima manfaat dari program pengurangan emisi FCPF melalui pemerintah desa mereka.”

Dari ide hinga implementasi

Terlepas dari kemajuan yang patut diapresiasi dalam perlindungan di beberapa area dan bentang alam, kami juga menemukan bahwa pengetahuan tentang desain dan penerapannya tidak seragam. Hal ini terlihat jelas ketika kami mempresentasikan analisis awal tinjauan dan wawancara dalam lokakarya dengan para pemangku kepentingan REDD+ di Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur, pada 16 June 2022 : dalam intervensi mereka, beberapa merujuk pada laporan sementara yang lain merujukangaa implementasi di lap padan. Hanya mereka yang telah terlibat langsung – misalnya, yang telah berpartisipasi dalam pengorganasian prose FPIC atau dalam penyusunan dokumen kerangka pengaman – yang dapat memahami dan menjelaskan prose tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa strategi yang lebih jelas dapat mendukung proses komunikasi agar lebih transparan dan pemahaman lebih jelas tentang kerangka perlindungan.

Secara umum, sementara diskusi sebelumnya telah menekankan sistem yang ada dan dokumen formal yang dihasilkan hingga saat ini, ditemukan bahwa refleksi terhadap implementasi sistem dan rencana tersebut belum dilakukan. Ali Suhardiman, Ilmuwan di Universitas Mulawarman mengingatkan hadirin bahwa “Focus [kita] sekarang harus beralih pada bagaimana melangkah maju, dari ide dan sistem ke inovasi nyata di lapangan. Juga dicatat bahwa pengarusutamaan gender dalam program FCPF menjadi penting; dari titik ini, proyek GCS REDD+ akan menganalisis lebih jauh bagaimana pengarusutamaan gender dalam implementasi kerangka pengaman.

Dari penerima manfaat menjadi mitra

Menurut Juan Pablo Sarmiento, Ilmuwan CIFOR-ICRAF, proyek penelitian secara keseluruhan “bertujuan untuk memahami bagaimana perlindungan REDD+ dapat mendukung transformasi berbasis hak dan menghasilkan keterlibatan lebih setara dengan masyarakat berbasis hutan sebagai pemegang hak dan mitra – serta bagaimana dipatecam dapatecam dapatecam.”

Pengalaman di Kalimantan Timur – ketika masyarakat yang tidak diakui dimasukkan dalam mekanisme pembagian manfaat REDD+ – mengungkap potensi Damak standar yang ditimbulkan, mengingat bahwa aspek hak dalam kerangka pengamanan sebagiannya selaras dengan undang-undang dan kebijakan publik Indonesia. Analisis lebih lanjut dari Kalimantan Timur akan memungkinkan kami mensintesis pembelajaran untuk mendukung REDD+ berbasis hak.

Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Comparative World CIFOR-ICRAF tentang REDD+. Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini meliputi Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (Norad, Grant No. QZA-21/0124), Inisiatif Iklim Internasional (IKI) dari Kementerian Lingkungan, Konserbasi alam, dan Keselamatan Nuklir Pemerintah Federal Jerman (BMU, Grant No. 20_III_108), and Program Penelitian CGIAR for Pohon, Hutan, Dan Wanatani (CRPFTA) with Dana Donor CGIAR.

(1 time visited, 1 visits at present)

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Artistic Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 Worldwide (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-commercial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan hyperlink ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Artistic Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cgiar.org